Mengenang Pencapaian Sektor Pertanian di Era Nawa Cita


Muslim Bersatu - Menjelang akhir tahun ketiga, kebijakan pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla (JK) dibidang pertanian telah memberikan dampak yang signifikan terkait peningkatan produksi yang berdampak bagi kesejahteraan petani.

Demikian diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Hari Priyono dalam rilis yang diterima redaksi, Selasa (11/7).

"Padi, jagung dan kedelai adalah tiga komoditas awal yang digenjot peningkatan produksinya sejak awal melalui program Upaya Khusus (upsus) Pajale," kata Hari.

Hari menegaskan bila secara bertahap program kebijakan pemerintah disektor pertanian di era nawacita mulai menunjukan hasil. Diantaranya poduksi Gabah Kering Giling (GKG) ditahun 2015 mencapai 75,55 juta ton meningkat 4,66 % di bandingkan tahun 2014 sebesar 70, 85 juta dan ditahun 2016 produksi mencapai 79,1 juta ton, ditahun ini juga tercatat untuk pertama kalinya Indonesia berswasembada beras setelah 32 tahun. Peningkatan produksi juga terjadi pada komoditi bawang merah dengan capain 1,29 juta ton meningkat sebesar 5,74 % dibandingkan  tahun 2015 yang mencapai 1,22 juta.

Sama halnya dengan bawang, lanjut Hari, untuk komoditi cabai produksi ditahun 2016 produksi mencapai 78.167 ton sedangkan kebutuhan 54.346 juta ton. Produksi jagungpun demikian, naik 4,2 juta ton atau 21,9 persen,  peningkatan produksi jagung ini setara Rp 13,2 triliun".  Dengan demikian Kementerian Pertanian mampu memenuhi ekspektasi target swasembada dalam hanya dalam 2 tahun. Ditahun 2016 pemerintahpun mengambil kebijakan yang berpihak kepada petani dengan tidak mengeluarkan rekomendasi impor, beras, cabai, dan bawang merah.

Terkait adanya polemik impor beras pada tahun 2016, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik, Agung Hendriadi menyampaikan bahwa rekomendasi impor beras adalah rekomendasi yang dikeluarkan pada tahun 2015. Realisasinya sebagian  dilaksanaksn pada tahun 2016, jadi bukan rekomendasi dan impor ditahun yang sama.

"Selama kurun waktu 2016 dan 2017 Pemerintah  tidak pernah mengeluarkan rekomendasi Impor beras medium, karena produksi kita berhasil dan cukup memenuhi konsumsi masyarakat," kata Agung.

"Rekomendasi impor hanya dikeluarkan untuk beras dengan kebutuhan khusus atau sering disebut specialty rice yang peruntukannya untuk hotel, restoran dan kesehatan", jelas Agung lagi.

Agung mengatakan bila pencapaian peningkatan produksi juga diikuti dengan meningkatnya Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Usaha Petani (NTUP) yaitu NTP) tahun 2016 mencapai 101,65 meningkat 0,06% dibandingkan NTP 2015 yang sebesar 101,59 dan NTUP rata-rata nasional tahun 2016 juga berada di posisi tertinggi dalam 3 tahun terakhir. Tahun 2016 NTUP mencapai 109,86 atau naik 2,3% dibandingkan tahun 2015.

Data Biro Pusat Statistik mencatat pencapaian produksi jagung di Februari 2017 sebesar 6,3 juta ton, jika dibandingkan februari 2016 hanya sebesar 3,2 juta ton. Dari pencapaian tersebut bukan mustahil jika target 24,2 juta ton di tahun 2017 ini dapat tercapai.

Guna mengatasi gejolak harga pangan, Kepolisian Republik Indonesia bersama dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Badan Urusan Logistik (Bulog) membentuk Satgas Pangan. Kinerja satgas pangan terbukti efektif, bergerak diseluruh propinsi dan mampu menjaga kestabilan harga dan ketersedian stok pangan menjelang dan berakhirnya ramadhan dan hari raya idul fitri.

Kinerja Satgas pangan ini diapresiasi oleh Presiden Jokowi. Bahkan Biro Pusat Statistik (BPS) sebagai lembaga yang  kredibel mencatat inflasi per Juni 2017 hanya sebesar 0,69 persen terendah dalam ramadhan dan idul fitri 3 tahun terkahir. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan upaya pemerintah dalam membentuk satgas pangan berdampak besar terhadap stabilnya harga  pangan di msyarakat. Karena selama ini naiknya harga pangan berdampak besar bagi peningkatan inflasi.

Terkait rating Food Sustainability Index (FSI), masih kata Agung, pada aspek sustainable agriculture yang  merupakan tupoksi utama Kementan. Rating FSI untuk aspek sustainable agriculture, Indonesia berada di rangking 16 (skor 53,87) setelah Argentina serta berada di atas Cina, Ethiopia, Amerika Serikat, Nigeria, Arab Saudi, Afrika Selatan, Mesir, Uni Emirat Arab, dan India.

“Intinya hasil riset ini menunjukkan Indonesia berada di atas Amerika Serikat”, ungkap Agung

Selanjutnya Agung menyampaikan riset GFSI memang berbeda dengan FSI.  Pada Juni 2016 peringkat GFSI Indonesia berada pada peringkat 71 dari 133 negara dengan skor 50,6 atau naik 2,7 poin.

"Hal yang perlu dicatat adalah peningkatan skor 2,7 ini merupakan peningkatan tertinggi di seluruh dunia”, uangkap Agung.

Agung menyampaikan bila capaian tersebut adalah hasil kerja bersama dari berbagai komponen bangsa. Menurutnya hal semacam itu patut disyukuri dan kurang pantas rasanya bila ada pihak  tertentu yg cenderung mencari kelemahan dan tendensius menyampaikan kritik yang mengarah pada ungkapan kebencian.

"Mari kita syukuri, terus bergerak dan sama sama kita perbaiki kekurangan tabpa harus membuat kegaduhan, kami tunggu sumbangsihnya," demikian Agung. (rmol)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Buka komentar
Tutup komentar

Belum ada Komentar untuk "Mengenang Pencapaian Sektor Pertanian di Era Nawa Cita"

Posting Komentar

Subcribe

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel