Politik Dan Agama Harus Dipisah, Presiden Jokowi Lakukan Pembangkangan UUD 1945 Dan Langgar Sumpah Jabatan?

Muslim Bersatu - CUKUP menyentak dan mengagetkan apa yang disampaikan Presiden Jokowi saat kunjungan kerja ke Sumatera Utara kemaren. Presiden dalam pidato resmi sebagai Presiden dan Kepala Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa Politik dan Agama harus dipisahkan di Indonesia.
Penggunaan kata politik di sini tidak bisa tidak bermakna sebagai negara. Sehingga dengan demikian pernyataan Presiden Jokowi akan dimaknai bahwa Negara dan Agama harus dipisahkan sama sekali di Indonesia.

Di sisi lain, konsepsi Ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia merumuskan bahwa negara dijalankan oleh politisi sesuai dengan konsepsi negara demokrasi. Politisilah yang mengisi dan menjalankan lembaga perwakilan melalui proses politik. Politisilah yang memimpin dan menjalankan pemerintahan melalui proses politik. Seluruh Menteri, baik yang berasal dari partai politik atau bukan, merupakan jabatan politik dan Menteri melaksanakan aktivitas politik.

Bahkan Presiden dan DPR adalah politisi produk proses politik (baca: pemilu) yang diberi wewenang oleh konstitusi untuk membuat UU yang merupakan hukum positif untuk mengatur segala hal di Indonesia.

Menilik hal itu, pernyataan Presiden Jokowi lebih lanjut seolah mengatakan bahwa politisi (baca: Presiden dan DPR) dalam proses kompetisi memperebutkan suara dan kepercayaan rakyat dalam pemilu haruslah memisahkan diri sejauh-jauhnya dari agama. Politisi (baca: Presiden, Menteri, dan DPR) dalam proses pembuatan UU haruslah mengesampingkan agama sama sekali. Kalau mau ekstrem, sebagai konsekwensinya, tentunya pejabat politik juga harusnya tidak menggunakan agama dalam sumpah jabatannya.

Pertanyaan yang perlu dijawab Presiden Jokowi adalah apakah memang demikian amanat UUD 1945 yang di dalamnya terdapat lima sila dari Pancasila? Apakah Pancasila sebagai Dasar Negara memaknai Indonesia sebagai negara yang memisahkan negara dan agama? Apakah UUD 1945 menggariskan bahwa politik dan agama di Indonesia harus dipisahkan? Apakah UUD 1945, dimana Presiden dalam sumpah jabatannya bersumpah untuk sepenuhnya menjalankan UUD, mengamatkan dalam pembukaan dan batang tubuhnya bahwa NKRI adalah negara yang menganut paham pemisahan agama dan politik (baca: negara)?

Kalau tidak, apakah dengan demikian pernyataan Presiden Jokowi tersebut merupakan pernyataan yang bisa dimaknai pembangkangan terhadap UUD 1945 dan pelanggaran terhadap Sumpah Jabatan?

Negara Sekuler dan Negara Agama

Turki adalah contoh negara modern yang dalam konstitusinya menyatakan dengan tegas sebagai negara sekuler. Negara sekuler Turki sebagai antitesis dari negara Turki sebelumnya, negara agama Turki. Agama tidak boleh sama sekali terlibat dan dilibatkan dalam proses politik dan pemerintahan Turki. Di awal negara sekuler Turki berdiri, bahkan sekedar penggunaan simbol keagamaanpun tidak dibenarkan dalam seluruh aspek kenegaraan. Turki adalah negara yang totally negara agama yang berubah menjadi totally negara sekuler, setidaknya di awal berdirinya.

Arab Saudi adalah contoh nyata sebagai negara agama saat ini. Saudi Arabia tidak memiliki konstitusi. Konstitusi Saudi Arabia adalah Al Quranul Karim, kitab suci agama Islam. Segala aspek kehidupan di Saudi Arabia merujuk sesuai dengan nilai-nilai dan hukum Al Quran. Hukum positif Saudi Arabai sepenuhnya hukum Al Quran. Pencuri potong tangan, hukuman mati dengan cara dipancung di depan umum, hukum qishos, dan lain sebagainya. Semua merujuk pada kitab suci ummat Islam tersebut. Tak ada yang lain.

Amerika Serikat sebagai negara modern pertama yang menerapkan demokrasi sepenuhnya menegaskan dalam konstitusi AS bahwa agama adalah hak individu. Agama merupakah wilayah privat. Norma-norma agama harus dipisahkan dari negara sama sekali. Negara sepenuhnya diatur, tunduk, dan merujuk pada konstitusi AS. Sehingga tidaklah heran jika di Amerika homoseksual dilindungi, diakui, dan difasilitasi keberadaannya dalam hukum positif AS sebagai wujud dari pengejawantahan nilai-nilai konstitusi yang menjunjung hak-hak individu. Walaupun seluruh agama yang ada di Amerika Serikat tak satupun yang kitab sucinya tidak mengutuk perilaku homoseksual tersebut. Amerika adalah contoh nyata negara sekuler di dunia saat ini. Tidak saja agama dipisahkan dari negara bahkan nilai-nilai agama juga tidak dipertimbangkan dalam proses perumusan hukum positif (contohnya adalah dengan lahirnya UU Pengakuan LGBT).

Negara Pancasila

Para pendiri negara Indonesia melakukan penelaahan cukup mendalam saat perumusan konsepsi Negara Indonesia. Pendiri negara mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya dan menyeluruh konsep-konsep negara yang ada. Apakah itu konsepsi negara sekuler (yang memisahkan negara dan agama) maupun konsepsi negara agama (menyatakan salah satu agama sebagai landasan bernegara), maupun konsepsi negara yang lain. Pendiri negara pun mempertimbangkan aspek sosial kemasyarakatan masyarakat Indonesia yang sangat beragam suku, agama, ras, dan antar golongannya.

Akhirnya, pendiri negara sampai pada kesimpulan yang dituangkan dalam Dasar Negara (Pancasila), dan dalam konstitusi (UUD 1945). Bahwa Negara Indonesia bukanlah negara agama yang mendasarkan negara kepada salah satu agama. Bahwa Negara Indonesia bukan pula negara sekuler yang memisahkan negara dari agama sama sekali. Negara Indonesia adalah Negara Pancasila. Indonesia adalah Religious Welfare State. Negara yang berke-Tuhan-an. Indonesia adalah negara yang berdasarkan dan diwarnai setiap aspek kehidupannya oleh nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ya, seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia harus berdasarkan dan diwarnai oleh nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Berhenti di situ? Sekadar berdasarkan dan diwarnai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa? Tidak, bahkan Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar yang pertama dan utama dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itulah kenapa sila pertama Pancasila, sebagai Dasar Negara, berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tidak berhenti Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Dasar Negara, pendiri negara bahkan dengan penuh kesadaran juga menegaskan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pembukaan UUD 1945 dalam alinea ke empat bersamaan dengan sila-sila lain Pancasila.

Penegasan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pembukaan UUD 1945 memberikan beberapa makna, memberikan beberapa hak konstitusion kepada seluruh warga negara Indonesia, beberapa diantaranya sebagaimana penulis ungkapkan berikut ini.

Pertama. Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjadi dasar dan mewarnai seluruh batang tubuh UUD 1945. Tidak boleh ada satupun pasal dalam batang tubuh UUD 1945 yang boleh bertentangan dengan konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kedua. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah hak konstitusional seluruh warga negara Republik Indonesia. Pencantuman Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pembukaan UUD 1945 memberikan jaminan hak konstitusional kepada seluruh warga negara Indonesia untuk menggunakan nilai-nilai agama yang diyakininya dalam seluruh aspek kehidupannya, tidak terkecuali dalam aspek kehidupan aktivitas politik warga negara tersebut.

Ketiga. Ketuhanan Yang Maha Esa juga memberikan hak konstitusional kepada warga negara untuk menggunakan nilai-nilai agama yang diyakini warga negara tersebut dalam perjuangan politik praktis, semisal dalam proses pemilu dan pilkada.

Keempat. Ketuhanan Yang Maha Esa juga memberikan hak konstitusional kepada warga negara Indonesia untuk memperjuangkan nilai-nilai agama yang diyakininya dalam proses legislasi, artinya adalah hak konstitusional warga negara untuk memasukan nilai-nilai agama yang diyakininya kedalam hukum positif negara melalui proses yang ditetapkan hukum yang berlaku (UU Perkawinan misalnya).

Kelima. Tidak dibenarkan sedikitpun UU dan peraturan pelasanaannya bertentangan dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidak ada tempat bagi LBGT, misalnya, dalam hukum positif Indonesia karena itu bertentangan dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pembangkangan Terhadap Konstitusi Dan Sumpah Jabatan?

Beranjak dari hal di atas maka amatlah tidak pada tempatnya pernyataan Presiden Jokowi di Sumatera Utara kemaren yang menyatakan bahwa politik dan agama harus dipisahkan di Indonesia. Pernyataan tersebut tidak memiliki landasan historis dan konstitusional sama sekali. Pernyataan tersebut bisa dinilai ahistoris dan inkonstitusional. Pernyataan tersebut bertentangan dengan Dasar Negara Pancasila, khususnya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di samping itu timbul satu pertanyaan, apakah pernyataan Presiden Jokowi saat kunjungan kerja ke Sumatera Utara kemarin bahwa politik dan agama harus dipisahkan di Indonesia bisa dikategorikan sebagai pernyataan pembangkangan terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara dan terhadap UUD 1945?. Dan apakah pernyataan tersebut merupakan pelanggaran Sumpah Jabatan sebagai Presiden atau tidak?

Jawabannya sepenuhnya kembali kepada akal budi yang jernih dan jujur. Akal budi yang jernih dan jujurlah yang bisa menilai pernyataan Presiden tersebut, termasuk akal budi yang jernih dan jujur dari Presiden sendiri.

Indonesia adalah negara bangsa yang besar. Jika kita mampu mengedepankan akal budi yang jernih dan jujur dalam menilai segala hal, dalam mempertimbangkan segala hal, tidak tertutup kemungkinan akal budi itu akan menjadi tonggak kokoh menuju posisi Indonesia Sumber Inspirasi dan Pemimpin Dunia di masa depan, sebagaimana sudah dideklarasikan ribuan Pemuda Politisi Anggota Parlemen Seluruh Indonesia di hadapan Kepala Negara pada tanggal 4 November 2010 silam, sebagai "Tekad Suci Untuk Indonesia". Semoga segera terwujud, Allahumma Amien.

Penulis adalah Redaktur Khusus Kantor Berita Politik RMOL, Sekjen Community for Press and Democracy Empowerment (PressCode), Ketua Panpel Deklarasi "Tekad Suci Untuk Indonesia"[rml]

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Buka komentar
Tutup komentar

Belum ada Komentar untuk "Politik Dan Agama Harus Dipisah, Presiden Jokowi Lakukan Pembangkangan UUD 1945 Dan Langgar Sumpah Jabatan?"

Posting Komentar

Subcribe

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel